Kertas Kosong
Jika kata hanya sekedar kata, harus kuletakkan dimana kotak keyakinan ini?
Kamis, 19 November 2020
Kabut
Rabu, 26 Agustus 2020
YTH
Bakar saja kertas-kertas itu
Hitam di atas putih biar tinggal menghitam
Menghilang lalu terbawa angin
Bakar!
Sisakan tinggal kertas-kertas terpilihmu
Biar semua orang tahu
Sejarah hanya ditulis oleh pemenang,
yang bertahan pada rantai makanan
Biar merah semua tangan anda di neraka
Hanya Tuhan yang bisa mengadili anda-anda semua,
ya kalau Tuhan itu ada
Bibir merahmu itu kan dari darah yang kamu hisap
Bukan satu, sepuluh, seratus atau seribu saja
Hitung sendiri saja nanti di neraka sana!
Anda-anda, tuan hina dan nyonya hina
Ahem!
Ahem!
Silahkan nikmati kembali uang kami
Selasa, 25 Agustus 2020
JIWA MUDA(?)
Kamuflase dari “young forever”, berjiwa muda, dan apalah sebutannya. Saya yakin banyak orang yang merasakannya. Lihat saja orang-orang tua yang berbicara kepada anak muda, bagaimana cara penyampaian mereka. “Jamanku dulu.....”, ahem! Kira-kira begitu.
Banyak orang terperangkap dalam kamuflase masa mudanya yang
dianggap terus ada di dalam jiwanya, tanpa sadar bahwa sebenarnya mereka hanya
terperangkap nostalgia masa lalu. Itu saja. Tanpa sadar mereka pasti akan
memosisikan diri lebih tua, “lebih senior”, daripada lawan bicaranya yang lebih
muda. Sementara anak muda yang selalu terperangkap dengan hirarki umur dan
patronisasi, pasti akan manut karena mereka butuh panutan. Ya tidak salah juga
sih, secara umur memang mereka lebih tua. Tapi justru di situ intinya.
Mereka bercerita seakan-akan mereka ada pada masa itu, masa
lalu yang mereka ceritakan. Lalu mereka menempatkan anak muda di depannya pada
masa yang sama, seakan mereka seumur pada masa lalu itu. Lalu mulailah
kisah-kisah heroik mereka, dan mulailah mereka membanding-bandingkan masanya
dengan masa kini, kemudian membanding-bandingkan keahlian mereka pada masa itu
dengan keahlian lawan bicara mudanya. Tai! Tapi saya pun pernah jadi si tai itu, bahahaha!
Terlepas dari itu semua, yang ingin saya bahas adalah betapa
menyedihkannya hidup dari masa lalu. Beda cerita ketika kita hanya bernostalgia
dengan sejawat kita yang mengalami bersama-sama, karena kita tidak akan
berusaha menggurui dan menjadi “dewa” dari anak muda yang pasti akan menjadi
“dewa” selanjutnya. Hidup pada masa lalu itu menandakan bahwa kamu telah mati
setelah habis masa-masa indah hidupmu yang selalu kamu kenang dan ceritakan ulang, titik
–habis di situ. Karena ceritamu setelah itu akan penuh dengan pengulangan
masa-masa indah itu.
Akan ada masa dimana kamu berharap bisa mengulang segalanya
kembali. Dan memperbaiki masa lalumu yang “tidak tepat”, “tidak sesuai
harapan”. Tapi masa lalu yang “salah” tidak bisa terulang, tidak pernah bisa
kembali. Hingga pada titik kamu akhirnya menyerah dan hanya mengenang masa-masa
terindah sebelum itu saja. Hidupmu habis, kamu mati, dan cerita selanjutnya
adalah kamu menjadi robot, mayat hidup. Hanya hidup, bernafas, bertopeng,
beranak, bercucu, kemudian menjadi mayat sungguhan. Dalam hati saya berpikir
–menyedihkan–, mungkin saya salah.
Walaupun tidak ada masalah jika itu memang pilihan sendiri.
Hanya saja dalam hati saya selalu berkata, “sayang sekali, hidup hanya lewat
saja”. Ups, jadi melenceng!
Kembali pada bahasan awal, saya melihat banyak orang yang terjebak dengan “jiwa
mudanya”. Tanpa sadar bahwa mereka telah mati sejak lama, dan tidak pernah
bangkit kembali dari kematian. Mungkin karena rebahan itu memang menggiurkan,
hidup mudah dan mengalir saja sendiri. Sepertinya saya sedang berada pada masa
itu, transisi hidup dan mati dan hidup lagi –semoga. Saya sadar saya mati
sejak 3 tahun lalu (2017), hidup rasanya tidak ada nikmat-nikmatnya. Pikiran
saya masih belum bebas dan rela, melepas pertemanan yang sangat asik di masa
kuliah. Lalu saya mulai mengulang cerita yang itu-itu saja, berharap saya bisa
menemukan kembali pertemanan seperti itu, dan berakhir dengan perpisahan yang
sama juga. Kampret! Berat sekali rasanya hidup.
Cemas akan sendiri dan tidak akan menemukan lagi kawanan
yang mau berlama-lama berteman dan bertualang bersama. Cemas dengan kawan-kawan
terdekat yang sudah memiliki keluarga baru dan lebih sibuk dengan hidup
barunya. Baru sadar bahwa ternyata saya bukan
makhluk soliter seperti yang saya kira selama
ini! Padahal seringkali saya memisahkan diri
dan berjalan sendiri. Lucu juga ya, akhirnya menemukan bahwa “support system” saya adalah
kawanan sejawat. Maka dari itu, ketika saya melihat orang-orang tua yang terjebak di masa
mudanya, terlebih jika harus berurusan dengan mereka. Ahem! Lelah sekali
rasanya. Tapi kasihan, tapi gereget. “Bullshit”,
dalam hati.
Tapi saya bisa saja salah. Karena ketika saya mengetik ini, saya pun ragu dengan hipotesis ini.