Kamis, 19 November 2020

Kabut

Konon tidur itu adalah istirahat
Tapi bagaimana bila tidurmu tidak menjadi istirahat?
Pagi menjadi malam
Malam menjadi pagi
Terang dan gelap tiada beda
Terjaga menjadi tidak bermakna
Putus asa, penyesalan, kemarahaan, ketidakrelaan
Momok yang datang kembali kemudian pergi sebentar
Aku takut hilang!
Lupa dan dilupakan
Penolakan dan ketidakadilan
Melukis senyum pada topeng merah
Memutar kaset rekaman pada mulut yang tertutup
Keinginan-keinginan yang memudar seiring waktu
Lalu kabut pada mata dan sumbat pada telinga
Seperti lelucon yang dulu sering kujawab ketika ada yang bertanya kabar.

#20201119

Rabu, 26 Agustus 2020

YTH

Bakar!
Bakar saja kertas-kertas itu
Hitam di atas putih biar tinggal menghitam
Menghilang lalu terbawa angin

Bakar!
Sisakan tinggal kertas-kertas terpilihmu
Biar semua orang tahu
Sejarah hanya ditulis oleh pemenang,
yang bertahan pada rantai makanan

Merah!
Biar merah semua tangan anda di neraka
Hanya Tuhan yang bisa mengadili anda-anda semua,
ya kalau Tuhan itu ada

Merah!
Bibir merahmu itu kan dari darah yang kamu hisap
Bukan satu, sepuluh, seratus atau seribu saja
Hitung sendiri saja nanti di neraka sana!
Anda-anda, tuan hina dan nyonya hina

Ahem!
Ahem!
Ahem!
Silahkan nikmati kembali uang kami

#20200826

Selasa, 25 Agustus 2020

JIWA MUDA(?)

Kamuflase dari “young forever”, berjiwa muda, dan apalah sebutannya. Saya yakin banyak orang yang merasakannya. Lihat saja orang-orang tua yang berbicara kepada anak muda, bagaimana cara penyampaian mereka. “Jamanku dulu.....”, ahem! Kira-kira begitu.

Banyak orang terperangkap dalam kamuflase masa mudanya yang dianggap terus ada di dalam jiwanya, tanpa sadar bahwa sebenarnya mereka hanya terperangkap nostalgia masa lalu. Itu saja. Tanpa sadar mereka pasti akan memosisikan diri lebih tua, “lebih senior”, daripada lawan bicaranya yang lebih muda. Sementara anak muda yang selalu terperangkap dengan hirarki umur dan patronisasi, pasti akan manut karena mereka butuh panutan. Ya tidak salah juga sih, secara umur memang mereka lebih tua. Tapi justru di situ intinya.

Mereka bercerita seakan-akan mereka ada pada masa itu, masa lalu yang mereka ceritakan. Lalu mereka menempatkan anak muda di depannya pada masa yang sama, seakan mereka seumur pada masa lalu itu. Lalu mulailah kisah-kisah heroik mereka, dan mulailah mereka membanding-bandingkan masanya dengan masa kini, kemudian membanding-bandingkan keahlian mereka pada masa itu dengan keahlian lawan bicara mudanya. Tai! Tapi saya pun pernah jadi si tai itu, bahahaha!

Terlepas dari itu semua, yang ingin saya bahas adalah betapa menyedihkannya hidup dari masa lalu. Beda cerita ketika kita hanya bernostalgia dengan sejawat kita yang mengalami bersama-sama, karena kita tidak akan berusaha menggurui dan menjadi “dewa” dari anak muda yang pasti akan menjadi “dewa” selanjutnya. Hidup pada masa lalu itu menandakan bahwa kamu telah mati setelah habis masa-masa indah hidupmu yang selalu kamu kenang dan ceritakan ulang, titik –habis di situ. Karena ceritamu setelah itu akan penuh dengan pengulangan masa-masa indah itu.

Akan ada masa dimana kamu berharap bisa mengulang segalanya kembali. Dan memperbaiki masa lalumu yang “tidak tepat”, “tidak sesuai harapan”. Tapi masa lalu yang “salah” tidak bisa terulang, tidak pernah bisa kembali. Hingga pada titik kamu akhirnya menyerah dan hanya mengenang masa-masa terindah sebelum itu saja. Hidupmu habis, kamu mati, dan cerita selanjutnya adalah kamu menjadi robot, mayat hidup. Hanya hidup, bernafas, bertopeng, beranak, bercucu, kemudian menjadi mayat sungguhan. Dalam hati saya berpikir –menyedihkan–, mungkin saya salah.

Walaupun tidak ada masalah jika itu memang pilihan sendiri. Hanya saja dalam hati saya selalu berkata, “sayang sekali, hidup hanya lewat saja”. Ups, jadi melenceng!

Kembali pada bahasan awal, saya melihat banyak orang yang terjebak dengan “jiwa mudanya”. Tanpa sadar bahwa mereka telah mati sejak lama, dan tidak pernah bangkit kembali dari kematian. Mungkin karena rebahan itu memang menggiurkan, hidup mudah dan mengalir saja sendiri. Sepertinya saya sedang berada pada masa itu, transisi hidup dan mati dan hidup lagi –semoga. Saya sadar saya mati sejak 3 tahun lalu (2017), hidup rasanya tidak ada nikmat-nikmatnya. Pikiran saya masih belum bebas dan rela, melepas pertemanan yang sangat asik di masa kuliah. Lalu saya mulai mengulang cerita yang itu-itu saja, berharap saya bisa menemukan kembali pertemanan seperti itu, dan berakhir dengan perpisahan yang sama juga. Kampret! Berat sekali rasanya hidup.

Cemas akan sendiri dan tidak akan menemukan lagi kawanan yang mau berlama-lama berteman dan bertualang bersama. Cemas dengan kawan-kawan terdekat yang sudah memiliki keluarga baru dan lebih sibuk dengan hidup barunya. Baru sadar bahwa ternyata saya bukan makhluk soliter seperti yang saya kira selama ini! Padahal seringkali saya memisahkan diri dan berjalan sendiri. Lucu juga ya, akhirnya menemukan bahwa “support system” saya adalah kawanan sejawat. Maka dari itu, ketika saya melihat orang-orang tua yang terjebak di masa mudanya, terlebih jika harus berurusan dengan mereka. Ahem! Lelah sekali rasanya. Tapi kasihan, tapi gereget. “Bullshit”, dalam hati.

Tapi saya bisa saja salah. Karena ketika saya mengetik ini, saya pun ragu dengan hipotesis ini.